Soft Launching Peta Hijau Bandung
Soft Launching Peta Hijau Bandung
22 Februari 2010
Common Room; Jl Kyai Gede Utama No.8
Kegiatan beberapa anak muda Bandung yang dimediasi oleh Forum Hijau Bandung dalam memetakan permasalahan sampah dan semua pihak yang terlibat di dalamnya, merupakan upaya nyata untuk menyebarkan informasi tentang masalah sampah kepada masyarakat luas, dan mengajak masyarakat kota Bandung untuk lebih peduli dan lebih aktif mengelola sampahnya masing-masing.
Kegiatan ini lalu menghasilkan sebuah karya berupa peta hijau. Tentu bukan hanya peta berwarna hijau, namun sebuah peta yang diharapkan dapat menginspirasi pembacanya untuk menghijaukan kota Bandung, membuat kota ini kembali asri, rindang, dan terbebas dari masalah sampah.
Acara peluncuran “Peta Hijau Tematik Persampahan Kota Bandung” (Tian, salah seorang pegiat Peta Hijau di Bandung, bahkan mengklaim bahwa peta hijau ini adalah peta hijau tematik pertama di dunia, yang khusus menyoal persampahan) ini dilangsungkan dengan sederhana. Hidangan ala tumpeng, dengan piring rotan beralaskan daun pisang memberikan kesan kesungguhan tim penyelenggara untuk mengadakan acara lingkungan yang tidak menyebabkan masalah bagi lingkungannya itu sendiri.
Mengingat tema yang ditautkan kepada Peta Hijau adalah masalah sampah, maka bukan kebetulan apabila waktu penyelenggaraan-pun bertepatan dengan hari peduli sampah nasional, dan peringatan 6 tahun tragedi longsor sampah Leuwi Gajah yang menelan lebih dari 140 korban jiwa. Melalui event ini diharapkan masyarakat akan lebih peka terhadap permasalahan sampah yang pernah (dan masih) melanda kota Bandung, dan jangan sampai terulang kembali.
Tujuan yang lebih spesifik dari peluncuran Peta Hijau ini adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam gerakan 3R (Reduce - Reuse - Recycle). Lebih lanjut koordinator pelaksana Peta Hijau, Mohamad Junerosano menekankan bahwa hendaknya gerakan 3R ini bukan dilihat sebagai pilihan, tapi skala prioritas. Menurutnya, kalau saja masyarakat sudah mengerti dan mempraktekan prinsip 3R ini, maka kita akan dapat mengurangi sampah yang masuk ke TPA, dan artinya akan semakin minim pula beban lingkungannya.
“Peta Hijau telah mendapatkan penghargaan dari PBB sebagai metoda yang dapat memiliki solusi praktis terhadap isu lingkungan lokal terhadap apa yang terjadi di sana.”
“Yang menjadi masalah adalah sistem pengelolaan yang tersentralisasi. Terbukti sistem ini telah menyebabkan permasalahan lingkungan lain yang lebih besar. Sampah dibawa dari rumah tangga lalu sampai ke TPA, ini hanyalah memindahkan sampah, bukan menuntaskan sampah.” Lebih lanjut Sano mengatakan, “Karena setiap rumah tangga adalah penghasil sampah terbesar, maka permasalahan sampah sebaiknya diselesaikan dari tahap rumah tangga pula.”
“Dalam Peta Hijau ini kami menyediakan informasi tentang tempat-tempat barang Bekas, Tempat Pengomposan, Tempat Daur Ulang, Usaha Produk Hijau, Sekolah Berwawasan Lingkungan, Organisasi Masyarakat, Informasi Lingkungan, dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu.”
“Rencananya akan diproduksi 6 seri peta yang akan dapat memberikan informasi secara lengkap untuk wilayah kota Bandung. Sementara yang baru dicetak sekarang adalah Peta Hijau seri-1 yang meliputi wilayah Kecamatan Bandung Wetan, Cidadap, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Coblong, Sumur Bandung.” kata Sano.
Lebih lanjut, Peta Hijau ini rencananya akn diproduksi sebanyak 30.000 eksemplar yang akan dapat melilputi 30 Kecamatan Kota Bandung. Dengan target pencapaian tersebut maka pinhak penyelenggara saat ini sudah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, dari mulai pemerintahan, perusahaan-perusahaan yang bersedia mengeluarkan dana CSR nya, lalu kerjasama dengan pihak toko buku sebagai agen distribusi komersil.
Semenjak program Peta Hijau ini ditujukan pada warga Bandung pada umumnya, maka diharapkan semua pihak akan dapat berkolaborasi untuk dapat bertanggung jawab dan mengelola sampahnya sendiri. Hanya dengan cara seperti itulah maka cita-cita agar Bandung tetap lestari, bebas dari masalah sampah.
---
Peta Hijau itu sendiri sebenarnya menginduk kepada Green Map, yang didirikan oleh Wendy Brawer di New York, Amerika Serikat pada tahun 1995. Green map ditujukan untuk membantu masyarakat melihat, menilai, lalu peduli terhadap lingkungan tempat mereka berada, lalu tergerak untuk melakukan sesuatu terhadap kondisi tersebut. Kabarnya saat ini, Green Map System telah digunakan oleh kurang lebih 500 proyek di sekitar 55 negara di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, Organisasi pegiat Peta Hijau telah berdiri semenjak 2006 melalui Pertemuan Nasional Peta Hijau I di Yogyakarta. Lalu pada perkembangannya, tercatat 15 daerah lain, seperti Aceh, Bandung, Bogor, Borobudur, Bukittinggi, Buton, Jakarta, Makassar, Malang, Medan, Sanur, Solo, Surabaya, dan Ternate, turut serta dalam pergerakan Peta Hijau ini. Bandung sendiri dipilih menjadi koordinator nasional peta hijau untuk periode 2011-2013, melalui PHPH IV yang diadakan di Bandung.
Memang banyak yang harus dibuktikan oleh warga Bandung dalam upayanya untuk menjadikan kota ini kembali sejuk, kembali nyaman dan layak untuk ditinggali. Salah seorang peserta bahkan sempat mempertanyakan efektifitas perogram Peta Hijau ini dalam mengubah pandangan dan perilaku masyarakat akan sampah secara signifikan. Menurutnya, tak mungkin perilaku masyarakat perkotaan yang telah terbiasa dengan budaya instan akan mau diajak untuk memilah sampah. Bahkan menurut pengalamannya sendiri yang telah mendampingi kelompok masyarakat di suatu desa, ketika masyarakat tersebut tidak didampingi lagi, maka mereka akan kembali seperti mulanya. Tak peduli lagi masalah lingkungan mereka sendiri.
Menanggapi hal ini, pihak penyelenggara mengatakan bahwa yang mereka tidak berambisi untuk menuntaskan permasalahan sampah ini sekaligus, namun lebih kepada penyediaan informasi mengenai permasalahan sampah yang diharapkan mampu menaikan tingkat kepedulian warga terhadapnya, lalu melakukan sesuatu yang nyata untuk menyikapi kondisi tersebut.
Legenda Menara Babylon menorehkan sebuah cerita tentang sebuah cita-cita manusia yang hancur karena semua orang berbicara dengan bahasa yang berbeda. Tidak ada yang saling mengerti, tak ada yang berusaha untuk memahami apa yang diucapkan oleh masing-masing dari mereka sendiri. Kini di Bandung pun terancam hal yang sama; tidak mungkin permasalahan sampah akan teratasi jika kita masih terkungkung oleh ego kelompok dan pribadi masing-masing. Sekarang saatnya berkarya nyata. Saatnya berkolaborasi! (q|220211)
0 komentar