Kerusakan Lingkungan dan Hancurnya Ekonomi
Ini adalah artikel terjemahan dari Adji Krisbandono, pembaca blog YPBB. Dari artikel ini kita dapat memahami bagaimana aktivitas manusia yang telah menyebabkan kerusakan pada alam, akhirnya mengakibatkan kerusakan di sistem kehidupan manusia sendiri, dalam hal ini adalah ekonomi. Dari artikel ini, dapat kita lihat bahwa alam-lah yang menjadi sistem dasar yang sesungguhnya, yang menunjang kehidupan manusia.
Kerusakan Lingkungan dan Hancurnya Ekonomi
Oleh: Richard Black (Koresponden bidang Lingkungan, BBC News)
Sebuah laporan yang dirilis oleh PBB mensyaratkan kehancuran pilar ekonomi suatu negara akibat semakin parahnya laju kerusakan bumi/alam. Hasil penelitian Global Biodiversity Outlook 3 (GBO-3) menerangkan bahwa beberapa ekosistem yang saat ini masih eksis, cepat atau lambat akan mencapai titik puncak (tipping point), titik dimana ekosistem tersebut tidak akan dapat memberi manfaat yang berarti bagi kehidupan manusia. Indikasinya dapat dilihat antara lain dari: tingginya laju penggundulan hutan, suburnya pertumbuhan ganggang di badan air, serta matinya sejumlah besar terumbu karang. Bulan lalu, para peneliti melaporkan bahwa banyak negara tidak akan mampu memenuhi target mereka dalam mencegah rusaknya keanekaragaman hayati hingga akhir tahun 2010 ini.
“Ini bukan kabar baik”, kata Ahmed Djogaf, Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biological Diversity – CBD). "Kita terus kehilangan keanekaragaman hayati yang kita miliki dengan laju yang hampir tidak pernah kita alami sebelumnya sepanjang sejarah, dengan tingkat kepunahan yang mencapai 1000 kali lebih tinggi jika dibandingkan catatan sejarah”. Jumlah vertebrata di dunia yang meliputi mamalia, reptil, burung, amfibi, dan ikan hilang hampir sepertiganya antara 1970 dan 2006, demikian menurut laporan UN – CBD.
“Ini bukan kabar baik”, kata Ahmed Djogaf, Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biological Diversity – CBD). "Kita terus kehilangan keanekaragaman hayati yang kita miliki dengan laju yang hampir tidak pernah kita alami sebelumnya sepanjang sejarah, dengan tingkat kepunahan yang mencapai 1000 kali lebih tinggi jika dibandingkan catatan sejarah”. Jumlah vertebrata di dunia yang meliputi mamalia, reptil, burung, amfibi, dan ikan hilang hampir sepertiganya antara 1970 dan 2006, demikian menurut laporan UN – CBD.
Apa yang dimaksud dengan Keanekaragaman Hayati? |
Daftar Merah
Target yang ditetapkan untuk menghentikan laju kerusakan keanekaragaman hayati pada 2010 ini disepakati saat pertemuan Johannesburg (Johannesburg Summit) tahun 2002. Dan semakin jelas bahwa target tersebut tidak akan dapat terpenuhi. Hasil penelitian GBO-3 juga menyimpulkan bahwa tidak ada satupun dari 21 target tambahan yang ditetapkan dapat dipenuhi pada waktu yang sama, setidaknya dalam skala global. Beberapa indikator yang dijadikan ukuran antara lain: pencegahan laju hilang serta rusaknya habitat, perlindungan terhadap 10% wilayah ekologis, pengendalian persebaran spesies, serta menjamin bahwa perdagangan internasional tidak berakibat pada punahnya spesies tertentu.
Dilaporkan juga bahwa dari sekian banyak negara yang menyerahkan laporan kepada UN – CBD , tidak ada satupun yang menyatakan telah memenuhi target pada tahun 2010 ini. Beberapa upaya perbaikan telah dilakukan dan kemajuan telah pula dirasakan di beberapa wilayah, namun kerusakan global yang mengancam punahnya sejumlah besar spesies tetap terjadi hingga ditetapkan dalam “Daftar Merah Spesies yang Terancam Punah” (Red List of Threatened Species).
"21 persen dari seluruh mamalia, 30% dari seluruh amfibi, 12% dari jumlah burung, serta 27% dari terumbu karang yang diteliti, kesemuanya terancam punah”, papar Bill Jackson, Deputi Direktur Jenderal Serikat Perlindungan Alam Internasional (International Union for the Conservation of Nature – IUCN) menerangkan lebih lanjut mengenai Daftar Merah tadi. “Jika dunia mencapai kehilangan yang sama dan setara, maka akan terjadi respon dan kepanikan yang meluas”.
“Hubungan antara kehilangan sumberdaya alam dan rusaknya perekonomian dapat dijelaskan lebih dari sekedar angka yang ada”, tegas UN – CBD kembali. Sebuah proyek yang saat ini sedang berjalan bernama “Nilai Ekonomi dari Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati” (The Economics of Ecosystems and Biodiversity – TEEB) sedang mencoba mengkuantifikasi nilai moneter dari berbagai layanan yang diberikan alam untuk manusia, seperti: pemurnian air dan udara, proteksi pantai dari badai, dan perlindungan kehidupan liar untuk pariwisata (ecotourism). Argumen yang mendasari proyek ini adalah bahwa ketika layanan tersebut hilang atau berkurang, maka layanan-layanan tersebut benar-benar harus dikeluarkan dari kehidupan manusia. Alhasil perhiitungan TEEB menyimpulkan bahwa hilangnya lahan hutan pertahun telah menyebabkan kerugian sebesar 2 hingga 5 triliun dollar, melebihi harga yang harus ditanggung saat krisis perbankan.
“Masih banyak sistem ekonomi dunia yang belum memperhitungkan betapa banyaknya keanekaragaman hewan, tumbuhan, dan kehidupan lainnya, serta peran mereka dalam menjaga kelestarian fungsi ekosistem”, kata Achim Steiner, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB (UN Environment Programme - UNEP). “Peradaban manusia telah membangun ilusi, bahwa entah bagaimana caranya, kita bisa hidup tanpa keanekaragaman hayati, atau bahwa keanekaragaman hayati adalah sesuatu yang terpisah dari dunia keseharian kita. Faktanya adalah bahwa kita sangat membutuhkannya, di kala bumi yang saat ini jumlah populasinya telah mencapai 6 miliar menuju lebih dari 9 miliar manusia pada tahun 2050”. Semakin cepat laju kerusakan ekosistem, katanya lagi, semakin besar risiko dan percepatan menuju kondisi paling bawah dimana semakin sedikit yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sebagai contoh, air bersih yang terkontaminasi oleh pupuk pertanian akan mematikan ganggang, memusnahkan ikan-ikan, sehingga membuat air tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia.
Lahirnya GBO-3 ini bertepatan dengan acara diskusi yang diadakan di Nairobi selama dua minggu untuk menyusun strategi mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati dalam skala global sehingga dapat diadopsi pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) bulan Oktober mendatang di Jepang.
Artikel aslinya dapat dilihat di sini.
“Masih banyak sistem ekonomi dunia yang belum memperhitungkan betapa banyaknya keanekaragaman hewan, tumbuhan, dan kehidupan lainnya, serta peran mereka dalam menjaga kelestarian fungsi ekosistem”, kata Achim Steiner, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB (UN Environment Programme - UNEP). “Peradaban manusia telah membangun ilusi, bahwa entah bagaimana caranya, kita bisa hidup tanpa keanekaragaman hayati, atau bahwa keanekaragaman hayati adalah sesuatu yang terpisah dari dunia keseharian kita. Faktanya adalah bahwa kita sangat membutuhkannya, di kala bumi yang saat ini jumlah populasinya telah mencapai 6 miliar menuju lebih dari 9 miliar manusia pada tahun 2050”. Semakin cepat laju kerusakan ekosistem, katanya lagi, semakin besar risiko dan percepatan menuju kondisi paling bawah dimana semakin sedikit yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sebagai contoh, air bersih yang terkontaminasi oleh pupuk pertanian akan mematikan ganggang, memusnahkan ikan-ikan, sehingga membuat air tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia.
Lahirnya GBO-3 ini bertepatan dengan acara diskusi yang diadakan di Nairobi selama dua minggu untuk menyusun strategi mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati dalam skala global sehingga dapat diadopsi pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) bulan Oktober mendatang di Jepang.
Artikel aslinya dapat dilihat di sini.
1 komentar