Pelarangan ini mulai diberlakukan pada 1 Januari 2024 melalui surat pemberitahuan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat kepada DLH Kabupaten/Kota di Metro Bandung dengan berdasar pada Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor: 02/PBLS.04/DLH tentang Penanganan Sampah Pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah Bandung Raya, yang diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 2023.
Kebijakan ini berpotensi mencegah timbulan sampah organik di TPS yang dapat mencapai 228 ribu ton per tahun. Dalam arti lain, hal ini dapat membantu mengurangi 50% sampah dari jenis organik yang semula dikirim ke TPPAS Regional Sarimukti secara tercampur.
Mengingat bahwa akumulasi sampah organik yang tertimbun di TPA berpotensi meningkatkan produksi gas metana, hal ini dapat berdampak pada kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di udara.
Produksi metana sendiri disebabkan oleh penguraian atau pembusukan material organik yang tersimpan dalam kondisi anaerobik seperti di TPA. Sementara, berdasarkan laporan IPCC (2013), jika dalam periode 20 tahun, metana sendiri setidaknya 84 kali lipat lebih kuat dari karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer. Sehingga dalam jangka pendek, metana yang diproduksi di TPA dapat meningkatkan risiko munculnya titik-titik api, hingga menyebabkan kebakaran.
Berdasarkan Climate Transparency Report (2022), penyumbang terbesar atas emisi metana di Indonesia adalah sektor pengelolaan limbah dan sampah. Bayangkan jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kebakaran TPA dapat terjadi kembali. Begitu pula upaya penyelamatan terhadap risiko perubahan iklim melalui pengurangan emisi yang akan terganggu. Padahal, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menunjukkan komitmen pengurangan emisi dengan menjadi Provinsi Percontohan Pembangunan Rendah Karbon (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2020).
Menurut Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD), target pengurangan emisi GRK di tahun 2028 akan meningkat lima kali lipat dari target penurunan emisi GRK pada tahun 2023. Oleh karena itu, Provinsi Jawa Barat perlu merancang strategi dan rencana untuk memastikan tercapainya target tersebut.
Di bulan September 2023, YPBB merilis kajian mengenai pelarangan organik sebagai salah satu solusi penanganan krisis sampah di skala regional Jawa Barat. Hasil kajian berupa rekomendasi kebijakan untuk pemerintah dengan judul “Pelarangan Sampah Organik ke TPA sebagai Solusi Krisis Pengelolaan Sampah Regional dan Mitigasi Perubahan Iklim”.
Kajian ini merekomendasikan pemerintah agar dapat memberlakukan pelarangan sampah organik untuk diangkut dan diproses di TPA. Alasannya, tentu berkaitan dengan upaya mengatasi krisis sampah di wilayah Metro Bandung dengan cepat, serta mengangkat urgensi isu iklim yang tak hanya terkait dengan pemenuhan komitmen atas upaya pengurangan emisi, namun juga membuka peluang penerapan tata kelola sampah yang rendah emisi, padat karya, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Unduh dokumen Rekomendasi Kebijakan di sini
English version
Versi bahasa
Hadirnya pandemi covid-19 menjadikan aktivitas di Kota Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia menjadi terbatas, ditambah dengan adanya perintah dari pemerintah untuk mengontrol persebaran virus. Pembatasan yang terjadi mempengaruhi keberjalanan program Zero Waste Cities yang cukup banyak membutuhkan interaksi secara langsung dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat. YPBB membuat inovasi untuk memastikan kegiatan edukasi dan pengumpulan terpilah tetap berjalan dengan baik serta tidak lupa untuk tetap memastikan staf lapangan, petugas pengumpul sampah dan masyarakat tetap terjaga dari kemungkinan penyebaran virus.
Jaga jarak : Persiapan roadshow pertemuan kader ZWC ( Kang Pisman) di Kelurahan Cihaurgeulis |
Saat berkeliling untuk mengumpulkan sampah di kawasan RW bersama petugas pengumpul sampah, staf lapangan memastikan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), tetap menjaga jarak, dan selalu menjaga kebersihan. Mereka juga memantau informasi penyebaran COVID-19 di area dampingannya masing-masing. Saat suatu daerah dinyatakan masuk dalam status “Zona Merah” atau seseorang di kawasan tersebut dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19, kegiatan lapangan ditunda untuk sementara. Staf lapangan Zero Waste Cities berpindah ke kawasan yang berisiko rendah sampai status “Zona Merah” pada daerah tersebut dicabut.
Jaga jarak : Pembagian APD untuk petugas pengumpul sampah di Kelurahan Cihaurgeulis |
Petugas lapangan memaksimalkan penggunaan gawai dan grup di
aplikasi whatsapp untuk mengurangi pertemuan secara langsung. Mereka juga
menggunakan akun sosial media untuk mengirimkan update kegiatan, berdasarkan landing
page yang telah disiapkan oleh tim proyek Zero Waste Cities.
Aktivitas pelatihan dan pertemuan sementara dilaksanakan secara daring
menggunakan aplikasi Google Meet.
Contoh diskusi di grup Karang Taruna saat staf lapangan memotivasi anak-anak muda di kelurahan yang belum memulai program pengelolaan sampah dari kawasan dan memberi informasi bahwa di kelurahan lainnya sudah mulai menjalankan program.
Pelatihan staf lapangan dengan tema manfaat data DTDC yang bertujuan untuk memahamkan staf lapangan terkait pentingnya data pengumpulan pada tahap DTDC dan hubungannya dengan pengurangan sampah. |
Pelatihan staf lapangan dengan tema Solusi Semu. Hal ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada mereka prinsip dasar Zero Waste Cities dan berbagai macam solusi semu. |
Bila diperlukan pertemuan warga yang berkaitan dengan program Zero
Waste Cities, YPBB memastikan bahwa pertemuan ini diadakan di ruang yang
berventilasi baik dan menjaga jarak secara fisik antar peserta. Di beberapa
tempat, pertemuan tingkat kelurahan ini diadakan dengan peserta yang terbatas
dan dilaksanakan di sebuah ruangan.
Video Pengelolaan Sampah dari Kawasan
Selain secara daring di grup Whatsapp dan platform daring
lainnya, YPBB juga membuat sebuah video tentang proses pengelolaan
sampah dari kawasan di bulan Oktober, sebagai media alternatif untuk mengedukasi
warga di kawasan, dengan tetap meminimalkan kontak fisik. Video tersebut
menunjukkan berbagai macam aktivitas yang dilakukan masyarakat untuk mendukung
proses pengelolaan sampah dari kawasan.
Dibalik layar pembuatan video bersama tim produksi. |
Dibalik layar pembuatan video : Staf lapangan sedang menghafalkan naskah. |
Acungan jempol untuk video. Warga mengapresiasi video DTDE-DTDC yang melibatkan petugas pengumpul sampah dan staf lapangan. |
Video tersebut sudah dibagikan ke grup kawasan (Kelurahan, RW, dan
RT) dan beberapa kader dan ketua RW. Warga memberikan respon positif pada video
tersebut dengan mengirimkan stiker jempol dan emotikon yang positif. Video ini
juga melibatkan petugas pengumpul sampah dan staf lapangan yang sesungguhnya
untuk memperkenalkan warga kepada mitra Zero Waste mereka.
Dibalik layar pembuatan video bersama staf lapangan dan petugas pengumpul sampah di kawasan. |
Pengarahan reka adegan kepada staf lapangan dan petugas pengumpul sampah di kawasan. |
Video ini juga disebar ke grup yang lebih besar dan memunculkan diskusi-diskusi terkait pengadaan upah yang lebih layak dari segi sosial dan finansial untuk petugas pengumpul sampah.
Antusiasme warga saat menonton video DTDE-DTDC yang ditayangkan oleh staf lapangan pada saat Sosialisasi program Zero Waste Cities di RW 14 Kelurahan Sadang Serang, Sabtu 28 November 2020. |
“Pengaruh dari film tersebut, sedikit banyak memberikan gambaran nyata yang selama ini memang saya sendiri pikirkan tentang bagaimana mengelola sampah ini. Jadi referensi, kenapa pengelolaan sampah menjadi masalah utama dalam kehidupan manusia. Ya kalau kita tidak bergerak di satuan yang terkecil, dari keluarga, RT, RW, ya tidak akan terwujud untuk pengurangan sampah dan yang lainnya. Jadi, dari situ saya mencoba menggerakan RW 14 ini dengan program yang bersinergi dengan YPBB supaya berjalan dengan lancar.” Ujar pak Arif.
Selain pak Arif, bu Lia dan bu Arnetta yang termasuk dalam warga di RW 14 juga merasakan adanya pengetahuan baru yang didapat dari video tersebut. Bu Lia menyampaikan kepada tim Humas Zero Waste Cities, “Dari film ini, ada ilmu baru untuk menggunakan wadah bekas sebagai wadah organik. Untuk wadah bisa diusahakan, cuma nanti, penampungnya apakah sudah disediakan untuk mengolah atau belum, itu yang menjadi perhatian. “
Walaupun masih belum bisa dikatakan efektif, dengan adanya video ini, YPBB berharap bisa membantu meningkatkan praktik Zero Waste tidak hanya RW di Bandung, tetapi juga di kota lainnya dan kawasan lainnya di Indonesia.
Artikel ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari artikel di web
GAIA: https://www.no-burn.org/zerowastecitiesupdate_ypbb2/
Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Peribahasa yang kerap kali digunakan untuk memotivasi orang menabung, agaknya menjadi sebuah perumpamaan sistem pengumpulan sampah yang saat ini masih dominan diterapkan di Indonesia. Yap, sistem kumpul-angkut-buang yang selama ini masih kita anut menimbulkan tumpukan sampah dan tinggal menunggu bom waktu. Seperti yang terjadi pada TPA Cipeucang 3 bulan yang lalu. TPA yang berada di Tangerang Selatan ini meruntuhkan turap penyangga, dan longsoran pun terjadi, menumpahkan sampah ke sungai Cisadane. Kondisi tersebut akibat sistem pengelolaan sampah kumpul-angkut-buang yang masih dipertahankan dan ketergantungannya terhadap TPA. Tidak heran jika TPA menjadi penuh.
Sampah
dikumpulkan, diangkut, dan kemudian dibuang ke TPA merupakan solusi penanganan
sampah end-of-pipe, dimana pada sistem ini penanganan dilakukan saat
sudah di hilir. Sistem ini memunculkan resistensi masyarakat terhadap TPA
dengan menolak pembangunan TPA di daerahnya dan menutup akses jalan menuju TPA.
Kejadian bencana longsor pada TPA
Leuwigajah tahun
2005 silam, menjadi bukti bahwa penanganan di hilir bukan mengatasi
permasalahan sampah, tetapi malah hanya memindahkannya saja.
Krisis
sampah yang sedang kita hadapi saat ini, membutuhkan solusi baru diluar sistem end-of-pipe
untuk menanganinya. Kebutuhan akan teknologi canggih semakin menguat dan
diharapkan dapat segera mengatasi sampah, serta memudahkan manusia dalam
pengelolaanya. Namun, beberapa teknologi tersebut justru memunculkan masalah
baru dalam solusi yang ditawarkannya, seperti Chemical Recycling,
Insinerator, dan beberapa teknologi lainnya yang menggunakan prinsip
pembakaran sampah dan daur ulang.
Pembakaran
Penemuan-penemuan teknologi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan sampah, justru membahayakan lingkungan. Diantaranya ada Insinerator, sebuah teknologi yang memanfaatkan proses pembakaran dalam pengolahannya. Proses pembakaran yang dilakukan mengubah material sampah menjadi energi. Namun, teknologi tersebut masih menghasilkan abu sisa dan polusi berbahaya bagi manusia yang tinggal disekitarnya. Penemuan-penemuan terkait teknologi pembakaran diungkapkan oleh GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives) di situs resminya, tentang insinerator yang berjalan di Eropa. Mesin tersebut ternyata menghasilkan dioxin yang dikenal sebagai polutan paling berbahaya. Jumlah insinerator yang banyak dan tidak sebanding dengan sampah yang akan diolah, menimbulkan pemikiran baru kepada masyarakat untuk menyampah lebih banyak. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan untuk dibakar pada alat tersebut dan diubah menjadi energi. Cara tersebut lebih diunggulkan daripada cara daur ulang yang hasilnya masih berupa fantasi, walaupun masih menghasilkan banyak dampak negatif bagi lingkungan.
Di Indonesia, ada beberapa teknologi pembakaran yang mulai dioperasikan, diantaranya ada Refused Derived Fuel (RDF) di TPA Jeruklegi Cilacap, ITF (Intermediate Treatment Facility) di beberapa TPA di Jakarta, PLTSa TPA Jatibarang Semarang, PLTSa Benowo di Surabaya, dan “Tungku Ajaib” di Kabupaten Bandung. Teknologi tersebut juga memanfaatkan proses pembakaran dengan suhu yang tinggi sehingga akan menghasilkan fly ash dan bottom ash. Energi yang besar pun dibutuhkan apabila sampah tercampur antara organik dan anorganik. Tak sedikit biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut. Padahal listrik yang dihasilkan belum sebanding. Pada kenyataannya, seperti yang tulis pada laporan All-Talk and No Recycling yang dikeluarkan oleh GAIA, emisi GHG (Green House Gasses) yang dihasilkan cukup besar, disaat industri mengklaim bahwa jumlah ini lebih sedikit dibanding emisi gas yang dihasilkan oleh minyak bumi konvensional.
Daur Ulang
Selain pembakaran sampah, ada juga teknologi daur ulang seperti Chemical Recycling dan Mechanical Recycling. Teknologi ini mendaur ulang plastik menjadi plastik kembali. Pada tahun 1989, perusahaan-perusahaan plastik memulai kampanyenya secara diam-diam mengenai pemasangan simbol daur ulang pada produk perusahaan-perusahaan terkait dan membuat para aktivis lingkungan ikut menyetujui dengan dalih untuk mempermudah memisahkannya dan juga memudahkan proses daur ulang. Simbol daur ulang tersebut biasa kita temukan di bagian bawah botol/gelas air minum dalam kemasan (AMDK). Fakta bahwa sesungguhnya plastik tidak bisa dan tidak akan bisa didaur ulang ditutupi oleh industri. Hal tersebut ditemukan oleh media NPR dan PBS Frontline setelah menggali informasi internal dari industri terkait. Industri plastik menggelontorkan uang untuk menyebarkan informasi bahwa plastik dapat didaur ulang walau sebenarnya itu hanya fantasi belaka. Sebuah pendekatan “Build first, sell now, protect health later” menjadi dasar para perusahaan industri daur ulang untuk menjual berbagai macam produk mereka. Daur ulang yang melibatkan proses pembakaran didalamnya, dipopulerkan kepada publik dengan istilah-istilah yang menyamarkan ancaman bahayanya.
Masih berbicara tentang daur ulang, pada sebuah laporan yang diterbitkan oleh GAIA, dinyatakan bahwa dalam Chemical Recycling, kita mengenal adanya teknologi pirolisis dan gasifikasi yang dapat mengubah sampah plastik menjadi plastik kembali dan siap untuk digunakan. Namun pada kenyataannya, teknologi tersebut tidak menjadi solusi, justru menimbulkan masalah baru di sektor ekonomi dan lingkungan. Masalah tersebut adalah :
a.
Daur ulang kimia
menghasilkan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi lingkungan,
b.
Daur ulang kimia
menghasilkan jejak karbon dalam jumlah yang cukup besar,
c.
Daur ulang kimia belum
terbukti berhasil dalam jumlah yang besar,
d.
Daur ulang kimia masih
belum bisa bersaing di pasaran,
e.
Daur ulang kimia tidak
cocok dengan konsep ekonomi sirkular.
Dengan adanya penemuan-penemuan tersebut, bisa menjadi pertimbangan bagi seluruh pihak, khususnya pemerintah dalam menentukan kebijakan apa yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah. Tidak hanya plastik, tetapi juga material sampah lainnya. Berbagai macam aspek harus diperhatikan supaya tidak menimbulkan permasalahan baru yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Lalu, apakah
dengan munculnya permasalahan tersebut membuat kita putus asa dan menyerah
untuk menangani sampah dan tetap menumpuknya di TPA? Coba bayangkan, jika kita
tidak segera mencari solusi yang baik dan masih melakukan konsumsi seperti
biasa, pada tahun
2040 sekitar 30 juta metric ton per sampah berakhir di lautan per
tahunnya.
Pengelolaan Sampah yang Sebenarnya
Solusi yang
tepat untuk menggantikan teknologi-teknologi di atas, hendaknya dapat
menggantikan sistem end-of-pipe, yang tidak ada upaya untuk mengurangi
produksi sampah dari sumber. Penanganan seharusnya tidak hanya terjadi di
hilir, tetapi juga di hulu. Di Indonesia sudah terdapat kebijakan nasional yang
mendukung perbaikan pengelolaan sampah yang tercantum pada UU No. 18 tahun 2008
dan PermenLHK No. 75 tahun 2019, dimana semua stakeholder (Masyarakat,
Pemerintah dan Produsen) berperan dan bersinergi di ranahnya
masing-masing.
Sesuai dengan amanat UU No. 18 tahun 2008, ada sebuah solusi yang saat ini sedang gencar dilakukan di beberapa kota di Indonesia, yaitu Zero Waste Cities. Dalam praktiknya, Zero Waste Cities mengutamakan pengelolaan sampah dari sumber dan dilakukan secara desentralisasi dalam skala kewilayahan. Program ini bertujuan untuk mengurangi beban sampah menuju TPA. Di Bandung, kita mengenal program Kang Pisman yang menganut sistem Zero Waste Cities. Bersama pendampingan oleh YPBB, program ini sudah berjalan sejak tahun 2017 menangani sampah dari sumber dan telah berhasil mengurangi sampah sebanyak 23,13%. Sama halnya dengan kota Bandung, Program Cimahi Barengras di Kota Cimahi juga telah menunjukkan keberhasilannya dalam melaksanakan Zero Waste Cities. Data yang masuk pada data YPBB hingga bulan September 2020 ini, sekitar 38% sampah sudah tertangani sejak dari sumber dan mengurangi beban menuju TPA. Dukungan dari berbagai pihak tentunya sangat dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita bersama menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari permasalahan sampah.
Gambar : Infografis Pencapaian Program Zero Waste Cities di Kota Bandung Tahun 2020 |
Gambar : Infografis Pencapaian Program Zero Waste Cities di Kota Cimahi Tahun 2020 |
Sumber :
Data YPBB
Patel, D., Moon, D., Tangri, N., Wilson, M. (2020). All Talk and No Recycling: An Investigation of the U.S. “Chemical Recycling” Industry. Global Alliance for Incinerator Alternatives. www.doi.org/10.46556/WMSM7198
UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Permenlhk No. 75 tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen
https://www.no-burn.org/europewasteburning/
https://www.nationalgeographic.com/science/2020/07/plastic-trash-in-seas-will-nearly-triple-by-2040-if-nothing-done/
Cimahi, 21 September 2020. Program pemilahan sampah dari sumber, Cimahi Barengras (Bareng-bareng Kurangi Sampah), sudah melayani 19 ribu jiwa di tahun 2019 yang tersebar di 15 Kelurahan di Kota Cimahi. Tingkat partisipasi pemilahan di tahun 2019 mencapai rata-rata 63%. Pengurangan sampah ke TPA dari area yang sudah melakukan pengumpulan terpilah mencapai 35%.
Jumlah warga yang menjalankan program ini akan bertambah sebanyak
kira-kira 5.300 jiwa di akhir tahun 2020. Fokus penerapan program sampai dengan
bulan Desember 2020 adalah di 5 RW di Kelurahan Melong yang terletak di sekitar
TPS3R Melong. Program Cimahi Barengras di Kelurahan Melong mulai diterapkan di
bulan September.
Sampai tulisan ini ditulis sudah ada 2 RW, yaitu RW 10 dan RW 11,
yang menerapkan program tersebut. 1.255 jiwa dari 346 rumah sudah diedukasi
dari rumah ke rumah dan mulai menerapkan program pemilahan dari sumber.
Proses monitoring oleh Patih DLH saat pengangkutan sampah terpilah di Kelurahan Melong Cimahi |
Data tanggal 21 September memperlihatkan sudah terjadi pengurangan sampah rata-rata sebesar 38% di 2 RW tersebut. Setelah 5 RW sampai akhir tahun ini, tahun depan rencananya akan dilanjut dengan 2 kelurahan model, di mana sudah tersedia TPS3R atau Pusat Daur Ulang di dalam kawasannya.
Timbulan sampah di Kota Cimahi saat ini mencapai 271 ton per hari.
Sampah harus dikelola mulai dari hulu sampai dengan hilir. Komposisi sampah
menurut Rencana Induk Sistem Pengelolaan Sampah Kota Cimahi 50 persennya
merupakan sampah organik. 35% komposisi sampah berupa sampah yang bisa didaur
ulang dan masih laku dijual. Sisanya merupakan residu.
Dukungan Pemerintah Kota Cimahi untuk memastikan program pemilahan
sampah dari sumber ini tetap berjalan adalah dengan mengeluarkan Peraturan
Daerah Kota Cimahi No. 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah.
Selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi menurunkan Tim Patih (Patroli
Kebersihan) untuk edukasi dan monitoring penerapan pemilahan sampah. Fasilitas
pengelolaan sampah organik berupa biodigester pun disediakan di beberapa
lokasi.
Biodigeser sebagai pengolah sampah organis di RW 16 Kelurahan Utama
Cimahi
Tak hanya dukungan formal dari Pemerintah Kota Cimahi, para
pejabat terkait pun sudah mulai menerapkan pemilahan sampah di rumahnya, bahkan
mengelola sampah organiknya sendiri sehingga sudah tidak mengeluarkan lagi
sampah sisa makanan dan daun-daunan dari rumahnya.
“Ternyata dari sampah organik keseharian yang keluarga saya buang
ke lubang sampah yang saya buat (70 X 70 X 150 cm) itu 1,5 tahun saya tidak
membuang sampah organik ke luar” menurut pengakuan Usep Koswara, Kepala UPTD
Pelayanan Persampahan DLH Kota Cimahi.
“Saya berpesan kepada masyarakat jangan bermudah-mudah menyampah.
Sampah itu terangkut jumlahnya akan sangat sedikit kalau masyarakat sudah bisa
mengolah sampah. Jadi sampah residu saja yang kita buang. Nah sampah yang bisa
dimanfaatkan silahkan dimanfaatkan,” lanjut Usep.
“Mari kita kelola sampah dengan baik. Bawa kantong belanja kalau
mau berbelanja sehingga tidak menghasilkan sampah. Bawa tempat minum, tempat
makan kemanapun beraktivitas. Di hilir mari kita pilah sampah, agar sampah yang
dibuang ke TPA bisa berkurang. Bagaimana caranya? Pilah sampah organik dan
anorganik. Kita ambil manfaatnya.” Begitu himbauan Muhammad Ronny selaku Dinas
Lingkungan Hidup Kota Cimahi, dalam video wawancara yang dilangsungkan di awal
bulan ini.
Himbauan itu juga dipraktekkan di rumahnya sendiri. 13 anggota
keluarganya diedukasi mengenai pengelolaan sampah. Sampah organik diolah di
rumahnya menggunakan Black Soldier Flies yang didapat dari budidaya di TPS3R
Melong, Kota Cimahi.
Informasi lebih lanjut tentang program Zero Waste Cities di Cimahi
dapat menghubungi Rikrik Sunaryadi di 0852-2052-2569.
Tentang Program Zero Waste Cities dan YPBB
Zero Waste Cities adalah program pengembangan
model pengelolaan sampah berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan
terdesentralisasi di kawasan pemukiman. Program Zero Waste Cities diinisiasi
oleh Mother Earth Foundation di Filipina. YPBB telah mereplikasi dan
menyesuaikan dengan kondisi di wilayah masing-masing sejak tahun 2017 di tiga
kota, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Tahun 2019
program Zero Waste Cities telah menambah lingkup kotanya ke Denpasar dan
Surabaya yang akan dijalankan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH)
serta Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).
Program ini bertujuan untuk mengurangi beban
pengelolaan sampah di tingkat Kota/ Kabupaten. Bila diterapkan dalam skala
luas, dengan dukungan penuh dari Pemerintah Kota/ Kabupaten, program ini
diharapkan dapat membantu Kota/Kabupaten dalam mencapai target pengurangan
sampah yang diamanatkan dalam Kebijakan Strategis Pengelolaan Sampah Nasional
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
YPBB adalah organisasi non-profit profesional
berlokasi di Kota Bandung yang konsisten dalam mempromosikan dan mempraktekkan
pola hidup selaras alam untuk mencapai kualitas hidup yang baik dan
berkelanjutan bagi masyarakat.
Bagi para ibu rumah tangga, pasti sudah akrab dengan Mang Sampah atau Tukang Sampah. Ya, Mang Sampah atau Tukang Sampah adalah sebutan khas Bandung Raya bagi para petugas pengumpul sampah, yang setiap harinya keliling mengitari kompleks perumahan atau pemukiman warga. Kebanyakan memang petugas pengumpulan sampah memang laki-laki. Tugasnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengambil dan mengumpulkan sampah yang dihasilkan oleh warga di Bandung Raya menggunakan gerobak atau motor roda tiga.
Petugas pengumpul sampah memiliki peran krusial
dalam mewujudkan sebuah kota menjadi Zero Waste Cities. Para petugas ini
menjadi garda terdepan dalam menangani masalah sampah. Peran ini cukup penting
jika kita menginginkan kota yang kita tinggali menjadi kota yang bersih dan
nyaman serta asri. Namun, tahukah Anda bahwa tugas yang mulia dan sangat
membantu kita ini, memiliki resiko yang cukup berat.
Coba bayangkan jika anda harus menggantikan
tugas pengumpul sampah untuk mengambil dan mengumpulkan sampah satu kompleks
dengan jumlah KK kurang lebih sebanyak 300 KK! Lalu Anda disuruh untuk memilah
dan memungut sampah yang sekiranya masih bisa digunakan atau dimanfaatkan,
namun kondisinya sudah tercampur dengan sampah makanan yang sudah membusuk.
Pasti jijik dan bau dong ya. Mereka harus terpapar langsung dengan sampah yang
kotor dan mau tidak mau harus bertemu dengan makhluk mikro yang bernama kuman,
bakteri dan virus. Selain makhluk mikro tadi, ada juga gas beracun yang
berpotensi besar dihasilkan oleh campuran antara sampah organik dan anorganik.
Ya, gas metana merupakan satu dari sekian banyak gas beracun yang keberadaannya
mengancam nyawa manusia.
Perlu kita ketahui bersama, resiko yang harus
dihadapi oleh petugas pengumpul sampah ternyata masih belum sebanding dengan
upah yang diterima. Rendahnya upah yang diterima ditambah belum adanya jaminan
kesehatan menjadi salah satu hal yang harus menjadi perhatian kita terutama
pemerintah.
Beberapa kasus pernah terjadi di Bandung Raya
akibat minimnya kepedulian terhadap kesehatan petugas pengumpul sampah. Pada
tahun 2018, ada almarhum Hermawan yang meninggal akibat luka terkena tusukan sate
yang dibuang dan bercampur dengan sampah lainnya. Selain itu, ada mang Udin,
petugas sampah RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung, pernah beberapa kali
terluka akibat sampah tusuk sate dan jatuh sakit karena paparan aroma sampah
tercampur. Ada juga mang Kosasih, Petugas Pengumpul Sampah RW 07 Kelurahan
Padasuka, Kota Cimahi, yang sempat pincang akibat terkena tusuk sate. Dari
kasus tersebut, bisa kita ketahui, bahwa perlengkapan yang masih minim seperti
sepatu boots dan masker diperlukan oleh petugas pengumpul sampah dalam
menghindari resiko yang mereka hadapi.
Kasman, petugas pengumpul sampah RW 19 Kelurahan Cigugur Tengah Cimahi |
“Gerobak yang layak, soalnya sudah agak rusak.”
kata Kasman salah satu petugas pengumpul sampah 19 Kelurahan Cigugur Tengah
Cimahi yang sempat diwawancarai oleh tim lapangan Zero Waste Cities YPBB.
Selain sepatu boots, untuk menghindari resiko tersebut, setidaknya petugas
pengumpul sampah membutuhkan peralatan pengumpulan sampah yang layak dan aman
untuk digunakan, seperti gerobak yang layak pakai untuk mengangkut sampah,
motor roda tiga untuk memudahkan penarikan gerobak, gacok untuk membongkar
sampah yang terkumpul, masker untuk menahan udara dan gas beracun supaya tidak
terhirup, sarung tangan untuk melindungi kulit supaya tidak terkena kontak
dengan kuman, bakteri maupun virus berbahaya dan beberapa peralatan lainnya
guna menunjang keamanan dan memudahkan pekerjaan mereka.
Kita perlu mengapresiasi beberapa usaha
pemerintah daerah, seperti program Kang Pisman di
Kota Bandung dan Cimahi Barengras di Cimahi. Upaya tersebut dilakukan dalam
rangka untuk meminimalisir jumlah sampah yang diangkut ke TPA yang secara
langsung hal tersebut juga meminimalisir resiko yang dihadapi petugas pengumpul
sampah. Dengan adanya pemilahan dari rumah sebagai salah satu aspek yang
ditekankan pada program tersebut, akan turut serta mengurangi dampak yang
membahayakan bagi para petugas pengumpul sampah ini. Namun, hal itu masih belum
dirasa cukup untuk membantu kesejahteraan para petugas pengumpul sampah. Mereka
juga mengakui bahwa mereka ingin adanya pengakuan dan upah yang layak sebagai
pekerja formal oleh pemerintah. Peraturan Daerah dan jaminan kesehatan menjadi
poin penting lainnya yang dibutuhkan oleh para petugas pengumpul sampah.
Sebagai upaya kepedulian akan kesejahteraan
petugas pengumpul sampah, YPBB telah menyelenggarakan pengumpulan donasi yang
sampai saat ini sudah berjalan 3 tahap. Sebanyak
228 petugas pengumpul sampah yang berada di 3 wilayah dampingan YPBB, sudah menerima bantuan berupa APD sepatu
boots, sabun cuci tangan dan beberapa kebutuhan pokok seperti beras dan minyak
goreng. Namun kesejahteraan para petugas pengumpul sampah tidak selamanya
bergantung kepada donasi bukan? Mereka butuh kehidupan yang layak dan terjamin
supaya bisa mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai garda terdepan untuk
menangani masalah sampah.
Selain upaya pengurangan sampah yang dibahas di hari pertama (8 September 2020) dalam rangkaian acara webinar Forum Daerah Bebas Plastik, inisiatif dalam upaya penanganan pun telah dilakukan di beberapa daerah. Target penanganan sampah nasional adalah 70% di tahun 2025.
“Di kota Bandung kita sudah bergerak melakukan pengumpulan
terpilah melayani dari 8 ribu jiwa di tahun 2018, sekarang sudah melayani 25
ribu jiwa. Untuk Cimahi dari 8 ribu jiwa sudah mencapai 19 ribu jiwa di tahun
2019. Tingkat partisipasi pemilahan, yang merupakan kunci untuk mencapai circular
economy, di Kota Bandung mencapai rata-rata 37% sedangkan di Kota Cimahi
mencapai rata-rata 63%. Sedangkan pengurangan sampah ke TPA dari area yang
sudah melakukan pengumpulan terpilah di Kota Bandung mencapai 23% dan Kota
Cimahi mencapai 35%,” papar David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPBB.
Cimahi dan Bandung, sejak tahun 2017 menerapkan menjadi model Zero
Waste Cities yang dikembangkan YPBB.Program Zero Waste Cities adalah pengembangan
sistem pengumpulan sampah terpilah dan pengolahan sampah secara holistik
dan berkelanjutan. Meliputi aspek edukasi, operasional, kelembagaan, regulasi,
dan pembiayaan.
Di Kota Bandung, Zero Waste Cities dikenal dengan Gerakan
Kang Pisman (singkatan dari Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan) yang
dicanangkan sejak tahun 17 Oktober 2018 oleh Pemerintah Kota Bandung. Saat ini
sudah ada total 143 Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung yang sudah melakukan
pengelolaan sampah secara mandiri, menurut pemaparan Dr.Kamalia Purbani MT
, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung.
Persoalan sampah tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan
terpisah dengan isu lainnya. “Gerakan Kang Pisman tidak lagi menjadi gerakan
sektoral tapi akan dikaitkan dengan ketahanan pangan,” tutur Kamalia. Gerakan
Kang Pisman berkolaborasi dengan Gerakan Buruan Sae (buruan adalah
halaman dalam bahasa Sunda) atau program Waste to Food.
Sedangkan di Kota Cimahi program Zero Waste Cities dikenal
dengan Program Cimahi Barengras (Bareng-bareng Kurangi Sampah), dengan
filosofi logo 3R (reduce, reuse, recycle) dan matahari di tengahnya yang bisa
membuat dunia bengras atau terang.
Menurut Muhammad Ronny, Kepala Dinas Lingkungan Hidup
Kota Cimahi, tantangan tahun ini program terpaksa tertunda karena adanya
refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Walaupun ada keterbatasan
anggaran, Kota Cimahi saat ini tetap menerapkan program Cimahi Barengras dengan
fokus di 5 RW sekitar TPS3R Melong RW 31.
Tiga kekuatan penting dari program Zero Waste Cities menurut Prigi
Arisadi, perwakilan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), yaitu
munculnya informasi karakter sampah sehingga bisa mengetahui bagaimana
sebaiknya penanganan sampah di suatu wilayah. Kekuatan kedua adalah
dilakukannya edukasi rumah ke rumah sehingga ada peluang untuk
melibatkan masyarakat dan berkontribusi. Ketiga, kebersamaan karena adanya
proses pembentukan komite pengelolaan sampah. Setiap level di desa punya
kesempatan untuk kontribusi ide, material untuk pengurangan sampah di wilayah.
Selain Kota Bandung, Kota Cimahi, Kecamatan Soreang, model Zero
Waste Cities ini juga sudah mulai dikembangkan di Kabupaten Gresik (bekerjasama
dengan Ecoton), Denpasar (bekerjasama dengan PPLH Bali), dan Medan (bekerjasama
dengan Walhi Sumatera Utara) sejak tahun 2019. Di Jawa Barat, tahun ini Zero
Waste Cities rencananya akan dikembangkan ke beberapa kota di sekitar Citarum.
“Kita coba kembangkan model-model lebih banyak di Citarum. Ini kontribusi kami
untuk mendukung target pemerintah provinsi dan pusat untuk Citarum,” tutur
David.
Pola pengelolaan sampah saat ini yang bertumpu pada model kumpul
angkut buang, akan menciptakan kebergantungan pada teknologi dan cara
pengolahan padat modal yang dikembangkan di negara-negara kaya. Model
Pengelolaan Sampah seperti Zero Waste Cities yang bertumpu pada pemilahan
sampah dan pengolahan di skala lokal, justru berupaya untuk membuat kota-kota
lepas dari metode pengelolaan sampah yang mahal. “Negara-negara berkembang,
seperti Indonesia, harus menemukan model pengelolaan sampahnya sendiri, bukan
meniru model yang sudah berkembang di negara-negara kaya,” kata David.
“Inisiatif Zero Waste Cities yang sedang dijalankan beberapa kota
merupakan implementasi amanah Undang Undang nomor 18 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah. Dan pencapaian target Jakstrada dan Jakstranas” menurut Ria
Ismaria, Ketua Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS)
Bagi kota/kabupaten lain yang tertarik, ingin mendapatkan
penjelasan lebih jauh tentang bagaimana Zero Waste Cities dijalankan, sekaligus
ikut serta di dalam jaringan kerja dan belajar, bisa mengisi form berikut http://bit.ly/FormKetertarikanZWCPemda.
Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Yaksa Pelestari
Bumi Berkelanjutan (YPBB), dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
menyelenggarakan Forum Daerah Bebas Plastik pada tanggal 8-9 September 2020.
Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual melalui Zoom Webinar dan YouTube. Informasi lebih lengkap dapat menghubungi narahubung Melly (+62
821 2600 3635)