Pemilahan Sampah dari Rumah di Kota Cimahi Kurangi Beban TPA

Cimahi, 21 September 2020. Program pemilahan sampah dari sumber, Cimahi Barengras (Bareng-bareng Kurangi Sampah), sudah melayani 19 ribu jiwa di tahun 2019 yang tersebar di 15 Kelurahan di Kota Cimahi. Tingkat partisipasi pemilahan di tahun 2019 mencapai rata-rata 63%. Pengurangan sampah ke TPA dari area yang sudah melakukan pengumpulan terpilah mencapai 35%. 

 

Jumlah warga yang menjalankan program ini akan bertambah sebanyak kira-kira 5.300 jiwa di akhir tahun 2020. Fokus penerapan program sampai dengan bulan Desember 2020 adalah di 5 RW di Kelurahan Melong yang terletak di sekitar TPS3R Melong. Program Cimahi Barengras di Kelurahan Melong mulai diterapkan di bulan September. 

 

Sampai tulisan ini ditulis sudah ada 2 RW, yaitu RW 10 dan RW 11, yang menerapkan program tersebut. 1.255 jiwa dari 346 rumah sudah diedukasi dari rumah ke rumah dan mulai menerapkan program pemilahan dari sumber. 


Proses monitoring oleh Patih DLH saat pengangkutan sampah terpilah di Kelurahan Melong Cimahi


Data tanggal 21 September memperlihatkan sudah terjadi pengurangan sampah rata-rata sebesar 38% di 2 RW tersebut. Setelah 5 RW sampai akhir tahun ini, tahun depan rencananya akan dilanjut dengan 2 kelurahan model, di mana sudah tersedia TPS3R atau Pusat Daur Ulang di dalam kawasannya.

 

Timbulan sampah di Kota Cimahi saat ini mencapai 271 ton per hari. Sampah harus dikelola mulai dari hulu sampai dengan hilir. Komposisi sampah menurut Rencana Induk Sistem Pengelolaan Sampah Kota Cimahi 50 persennya merupakan sampah organik. 35% komposisi sampah berupa sampah yang bisa didaur ulang dan masih laku dijual. Sisanya merupakan residu.



Dukungan Pemerintah Kota Cimahi untuk memastikan program pemilahan sampah dari sumber ini tetap berjalan adalah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah. Selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi menurunkan Tim Patih (Patroli Kebersihan) untuk edukasi dan monitoring penerapan pemilahan sampah. Fasilitas pengelolaan sampah organik berupa biodigester pun disediakan di beberapa lokasi.

 

Biodigeser sebagai pengolah sampah organis di RW 16 Kelurahan Utama Cimahi 

Tak hanya dukungan formal dari Pemerintah Kota Cimahi, para pejabat terkait pun sudah mulai menerapkan pemilahan sampah di rumahnya, bahkan mengelola sampah organiknya sendiri sehingga sudah tidak mengeluarkan lagi sampah sisa makanan dan daun-daunan dari rumahnya.

 

“Ternyata dari sampah organik keseharian yang keluarga saya buang ke lubang sampah yang saya buat (70 X 70 X 150 cm) itu 1,5 tahun saya tidak membuang sampah organik ke luar” menurut pengakuan Usep Koswara, Kepala UPTD Pelayanan Persampahan DLH Kota Cimahi.

 

“Saya berpesan kepada masyarakat jangan bermudah-mudah menyampah. Sampah itu terangkut jumlahnya akan sangat sedikit kalau masyarakat sudah bisa mengolah sampah. Jadi sampah residu saja yang kita buang. Nah sampah yang bisa dimanfaatkan silahkan dimanfaatkan,” lanjut Usep.

 

“Mari kita kelola sampah dengan baik. Bawa kantong belanja kalau mau berbelanja sehingga tidak menghasilkan sampah. Bawa tempat minum, tempat makan kemanapun beraktivitas. Di hilir mari kita pilah sampah, agar sampah yang dibuang ke TPA bisa berkurang. Bagaimana caranya? Pilah sampah organik dan anorganik. Kita ambil manfaatnya.” Begitu himbauan Muhammad Ronny selaku Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, dalam video wawancara yang dilangsungkan di awal bulan ini.

 


Himbauan itu juga dipraktekkan di rumahnya sendiri. 13 anggota keluarganya diedukasi mengenai pengelolaan sampah. Sampah organik diolah di rumahnya menggunakan Black Soldier Flies yang didapat dari budidaya di TPS3R Melong, Kota Cimahi. 


Informasi lebih lanjut tentang program Zero Waste Cities di Cimahi dapat menghubungi Rikrik Sunaryadi di 0852-2052-2569.

 

Tentang Program Zero Waste Cities dan YPBB

 

Zero Waste Cities adalah program pengembangan model pengelolaan sampah berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di kawasan pemukiman. Program Zero Waste Cities diinisiasi oleh Mother Earth Foundation di Filipina. YPBB telah mereplikasi dan menyesuaikan dengan kondisi di wilayah masing-masing sejak tahun 2017 di tiga kota, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Tahun 2019 program Zero Waste Cities telah menambah lingkup kotanya ke Denpasar dan Surabaya yang akan dijalankan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) serta Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).

 

Program ini bertujuan untuk mengurangi beban pengelolaan sampah di tingkat Kota/ Kabupaten. Bila diterapkan dalam skala luas, dengan dukungan penuh dari Pemerintah Kota/ Kabupaten, program ini diharapkan dapat membantu Kota/Kabupaten dalam mencapai target pengurangan sampah yang diamanatkan dalam Kebijakan Strategis Pengelolaan Sampah Nasional tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

 

YPBB adalah organisasi non-profit profesional berlokasi di Kota Bandung yang konsisten dalam mempromosikan dan mempraktekkan pola hidup selaras alam untuk mencapai kualitas hidup yang baik dan berkelanjutan bagi masyarakat.




Antara Tugas, Resiko, Upah, dan Kesejahteraan Petugas Pengumpul Sampah di Bandung Raya

Bagi para ibu rumah tangga, pasti sudah akrab dengan Mang Sampah atau Tukang Sampah. Ya, Mang Sampah atau Tukang Sampah adalah sebutan khas Bandung Raya bagi para petugas pengumpul sampah, yang setiap harinya keliling mengitari kompleks perumahan atau pemukiman warga. Kebanyakan memang petugas pengumpulan sampah memang laki-laki. Tugasnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengambil dan mengumpulkan sampah yang dihasilkan oleh warga di Bandung Raya menggunakan gerobak atau motor roda tiga.

 

Petugas pengumpul sampah memiliki peran krusial dalam mewujudkan sebuah kota menjadi Zero Waste Cities. Para petugas ini menjadi garda terdepan dalam menangani masalah sampah. Peran ini cukup penting jika kita menginginkan kota yang kita tinggali menjadi kota yang bersih dan nyaman serta asri. Namun, tahukah Anda bahwa tugas yang mulia dan sangat membantu kita ini, memiliki resiko yang cukup berat. 

 

Coba bayangkan jika anda harus menggantikan tugas pengumpul sampah untuk mengambil dan mengumpulkan sampah satu kompleks dengan jumlah KK kurang lebih sebanyak 300 KK! Lalu Anda disuruh untuk memilah dan memungut sampah yang sekiranya masih bisa digunakan atau dimanfaatkan, namun kondisinya sudah tercampur dengan sampah makanan yang sudah membusuk. Pasti jijik dan bau dong ya. Mereka harus terpapar langsung dengan sampah yang kotor dan mau tidak mau harus bertemu dengan makhluk mikro yang bernama kuman, bakteri dan virus. Selain makhluk mikro tadi, ada juga gas beracun yang berpotensi besar dihasilkan oleh campuran antara sampah organik dan anorganik. Ya, gas metana merupakan satu dari sekian banyak gas beracun yang keberadaannya mengancam nyawa manusia.

 

Perlu kita ketahui bersama, resiko yang harus dihadapi oleh petugas pengumpul sampah ternyata masih belum sebanding dengan upah yang diterima. Rendahnya upah yang diterima ditambah belum adanya jaminan kesehatan menjadi salah satu hal yang harus menjadi perhatian kita terutama pemerintah. 

 

Beberapa kasus pernah terjadi di Bandung Raya akibat minimnya kepedulian terhadap kesehatan petugas pengumpul sampah. Pada tahun 2018, ada almarhum Hermawan yang meninggal akibat luka terkena tusukan sate yang dibuang dan bercampur dengan sampah lainnya. Selain itu, ada mang Udin, petugas sampah RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung, pernah beberapa kali terluka akibat sampah tusuk sate dan jatuh sakit karena paparan aroma sampah tercampur. Ada juga mang Kosasih, Petugas Pengumpul Sampah RW 07 Kelurahan Padasuka, Kota Cimahi, yang sempat pincang akibat terkena tusuk sate. Dari kasus tersebut, bisa kita ketahui, bahwa perlengkapan yang masih minim seperti sepatu boots dan masker diperlukan oleh petugas pengumpul sampah dalam menghindari resiko yang mereka hadapi. 


Kasman, petugas pengumpul sampah RW 19 Kelurahan Cigugur Tengah Cimahi


“Gerobak yang layak, soalnya sudah agak rusak.” kata Kasman salah satu petugas pengumpul sampah 19 Kelurahan Cigugur Tengah Cimahi yang sempat diwawancarai oleh tim lapangan Zero Waste Cities YPBB. Selain sepatu boots, untuk menghindari resiko tersebut, setidaknya petugas pengumpul sampah membutuhkan peralatan pengumpulan sampah yang layak dan aman untuk digunakan, seperti gerobak yang layak pakai untuk mengangkut sampah, motor roda tiga untuk memudahkan penarikan gerobak, gacok untuk membongkar sampah yang terkumpul, masker untuk menahan udara dan gas beracun supaya tidak terhirup, sarung tangan untuk melindungi kulit supaya tidak terkena kontak dengan kuman, bakteri maupun virus berbahaya dan beberapa peralatan lainnya guna menunjang keamanan dan memudahkan pekerjaan mereka. 

 

Kita perlu mengapresiasi beberapa usaha pemerintah daerah, seperti  program Kang Pisman di Kota Bandung dan Cimahi Barengras di Cimahi. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka untuk meminimalisir jumlah sampah yang diangkut ke TPA yang secara langsung hal tersebut juga meminimalisir resiko yang dihadapi petugas pengumpul sampah. Dengan adanya pemilahan dari rumah sebagai salah satu aspek yang ditekankan pada program tersebut, akan turut serta mengurangi dampak yang membahayakan bagi para petugas pengumpul sampah ini. Namun, hal itu masih belum dirasa cukup untuk membantu kesejahteraan para petugas pengumpul sampah. Mereka juga mengakui bahwa mereka ingin adanya pengakuan dan upah yang layak sebagai pekerja formal oleh pemerintah. Peraturan Daerah dan jaminan kesehatan menjadi poin penting lainnya yang dibutuhkan oleh para petugas pengumpul sampah. 

 

Sebagai upaya kepedulian akan kesejahteraan petugas pengumpul sampah, YPBB telah menyelenggarakan pengumpulan donasi yang sampai saat ini sudah berjalan 3 tahap. Sebanyak 228 petugas pengumpul sampah yang berada di 3 wilayah dampingan YPBB, sudah menerima bantuan berupa APD sepatu boots, sabun cuci tangan dan beberapa kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Namun kesejahteraan para petugas pengumpul sampah tidak selamanya bergantung kepada donasi bukan? Mereka butuh kehidupan yang layak dan terjamin supaya bisa mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai garda terdepan untuk menangani masalah sampah.



Zero Waste Cities Dorong Target Penanganan Sampah Nasional

Selain upaya pengurangan sampah yang dibahas di hari pertama (8 September 2020) dalam rangkaian acara webinar Forum Daerah Bebas Plastik, inisiatif dalam upaya penanganan pun telah dilakukan di beberapa daerah. Target penanganan sampah nasional adalah 70% di tahun 2025.

“Di kota Bandung kita sudah bergerak melakukan pengumpulan terpilah melayani dari 8 ribu jiwa di tahun 2018, sekarang sudah melayani 25 ribu jiwa. Untuk Cimahi dari 8 ribu jiwa sudah mencapai 19 ribu jiwa di tahun 2019.  Tingkat partisipasi pemilahan, yang merupakan kunci untuk mencapai circular economy, di Kota Bandung mencapai rata-rata 37% sedangkan di Kota Cimahi mencapai rata-rata 63%. Sedangkan pengurangan sampah ke TPA dari area yang sudah melakukan pengumpulan terpilah di Kota Bandung mencapai 23% dan Kota Cimahi mencapai 35%,” papar David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPBB.

 

Cimahi dan Bandung, sejak tahun 2017 menerapkan menjadi model Zero Waste Cities yang dikembangkan YPBB.Program Zero Waste Cities adalah pengembangan sistem pengumpulan sampah terpilah dan pengolahan sampah secara holistik dan berkelanjutan. Meliputi aspek edukasi, operasional, kelembagaan, regulasi, dan pembiayaan.

 

Di Kota Bandung, Zero Waste Cities dikenal dengan Gerakan Kang Pisman (singkatan dari Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan) yang dicanangkan sejak tahun 17 Oktober 2018 oleh Pemerintah Kota Bandung. Saat ini sudah ada total 143 Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung yang sudah melakukan pengelolaan sampah secara mandiri, menurut pemaparan Dr.Kamalia Purbani MT , Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung.

 

Persoalan sampah tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan terpisah dengan isu lainnya. “Gerakan Kang Pisman tidak lagi menjadi gerakan sektoral tapi akan dikaitkan dengan ketahanan pangan,” tutur Kamalia. Gerakan Kang Pisman berkolaborasi dengan Gerakan Buruan Sae (buruan adalah halaman dalam bahasa Sunda) atau  program Waste to Food.

 

Sedangkan di Kota Cimahi program Zero Waste Cities dikenal dengan Program Cimahi Barengras (Bareng-bareng Kurangi Sampah), dengan filosofi logo 3R (reduce, reuse, recycle) dan matahari di tengahnya yang bisa membuat dunia bengras atau terang.

 

Menurut Muhammad Ronny, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, tantangan tahun ini program terpaksa tertunda karena adanya refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Walaupun ada keterbatasan anggaran, Kota Cimahi saat ini tetap menerapkan program Cimahi Barengras dengan fokus di 5 RW sekitar TPS3R Melong RW 31.

 

Tiga kekuatan penting dari program Zero Waste Cities menurut Prigi Arisadi, perwakilan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), yaitu munculnya informasi karakter sampah sehingga bisa mengetahui bagaimana sebaiknya penanganan sampah di suatu wilayah. Kekuatan kedua adalah dilakukannya edukasi rumah ke rumah sehingga ada peluang untuk melibatkan masyarakat dan berkontribusi. Ketiga, kebersamaan karena adanya proses pembentukan komite pengelolaan sampah. Setiap level di desa punya kesempatan untuk kontribusi ide, material untuk pengurangan sampah di wilayah.

 

Selain Kota Bandung, Kota Cimahi, Kecamatan Soreang, model Zero Waste Cities ini juga sudah mulai dikembangkan di Kabupaten Gresik (bekerjasama dengan Ecoton), Denpasar (bekerjasama dengan PPLH Bali), dan Medan (bekerjasama dengan Walhi Sumatera Utara) sejak tahun 2019. Di Jawa Barat, tahun ini Zero Waste Cities rencananya akan dikembangkan ke beberapa kota di sekitar Citarum. “Kita coba kembangkan model-model lebih banyak di Citarum. Ini kontribusi kami untuk mendukung target pemerintah provinsi dan pusat untuk Citarum,” tutur David.

 

Pola pengelolaan sampah saat ini yang bertumpu pada model kumpul angkut buang, akan menciptakan kebergantungan pada teknologi dan cara pengolahan padat modal yang dikembangkan di negara-negara kaya. Model Pengelolaan Sampah seperti Zero Waste Cities yang bertumpu pada pemilahan sampah dan pengolahan di skala lokal, justru berupaya untuk membuat kota-kota lepas dari metode pengelolaan sampah yang mahal. “Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, harus menemukan model pengelolaan sampahnya sendiri, bukan meniru model yang sudah berkembang di negara-negara kaya,” kata David.

 

“Inisiatif Zero Waste Cities yang sedang dijalankan beberapa kota merupakan implementasi amanah Undang Undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dan pencapaian target Jakstrada dan Jakstranas” menurut Ria Ismaria, Ketua Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS)


Bagi kota/kabupaten lain yang tertarik, ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh tentang bagaimana Zero Waste Cities dijalankan, sekaligus ikut serta di dalam jaringan kerja dan belajar, bisa mengisi form berikut http://bit.ly/FormKetertarikanZWCPemda.

 

Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyelenggarakan Forum Daerah Bebas Plastik pada tanggal 8-9 September 2020. Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual melalui Zoom Webinar dan YouTube. Informasi lebih lengkap dapat menghubungi narahubung Melly (+62 821 2600 3635)