Jakarta, 18 Juli 2016 – Sejumlah
organisasi masyarakat sipil dan individu yang bergerak di bidang pengelolaan
sampah dan lingkungan hidup yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Bakar
Sampah, pagi ini mendaftarkan permohonan uji materiil terhadap Peraturan
Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik
Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (selanjutnya disebut
“Perpres 18/2016”).
Permohonan uji materiil ini akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh 15
orang pemohon perorangan yang berasal dari kota-kota yang menjadi sasaran Perpres 18/2016
dan 6 lembaga swadaya masyarakat yaitu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, KRuHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB.
Ada lima
alasan uji materiil mengapa diajukan (1) Bagian terkait “Percepatan” dalam
Perpres 18/2016 bertentangan dengan kerangka hukum pencegahan dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (2)
Pembatasan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan teknologi termal dalam
Perpres 18/2016 bertentangan dengan sistem pengelolaan sampah dan tujuan UU No.
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; (3) Keberadaan Perpres 18/2016
menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan
hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU
Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) Bagian terkait “Percepatan”
dalam Perpres 18/2016 merupakan penyalahgunaan kewenangan Presiden dan para
Kepala Daerah yang berpotensi merugikan keuangan negara; dan (5) Pengundangan
Perpres 18/2016 dilakukan tanpa mempertimbangkan Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang Baik, khususnya “dapat dilaksanakan” dan “kedayagunaan
dan kehasilgunaan” sehingga bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan e UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Nur
Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa “Permohonan
Judicial Review yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil ini sekaligus untuk
mengingatkan Presiden RI selaku pemegang mandat konstitusi, bahwa kebijakan
yang dikeluarkan harusnya mengedepankan aspek keselamatan rakyat dan aspek
kehati-hatian dini, bukan sebaliknya. Perpres No. 18/2016 ini justru
mengabaikan aspek keselamatan rakyat dan sangat berisiko tinggi”.
“Dalam
skala yang lebih luas, uji materiil ini merupakan sinyal kami kepada Presiden
bahwa masyarakat sipil mengawasi percepatan proyek-proyek infrastruktur,” ujar
Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL. “Percepatan tidak
boleh mengenyampingkan dampak kesehatan publik dan lingkungan. Pemerintah harus
memastikan proyek-proyek percepatan tidak bertentangan dengan peraturan lain
yang telah dikeluarkan lebih dahulu.”
Dwi Retnastuti, salah satu pemohon individu yang bertempat tinggal di Gedebage,
Bandung, merasa keberatan dengan diterbitkannya Perpres 18/2016 karena akan
mengancam memperburuk kualitas kesehatan dan lingkungan tempat tinggalnya. Ibu Retnastuti bertempat tinggal 300 meter dari calon lokasi Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah Bandung. Sejak tahun 2006, Sejak mengetahui rencana pembangunan
PLTSa di dekat rumahnya pada tahun 2006, Pemohon semakin kritis terutama
terkait dengan potensi pencemaran udara dan pencemaran air yang berpotensi
berdampak terhadap kesehatannya dan keluarganya.
Selain kelonggaran pengurusan ijin lingkungan, Perpres 18/2016 juga berisiko
tinggi mempromosikan teknologi yang belum tentu sesuai untuk sampah Indonesia.
“Teknologi termal yang diarahkan dalam Perpres 18/2016 ini belum melalui kajian
kelayakan. Alih-alih mendapatkan bonus listrik yang diharapkan, ketujuh kota kemungkinan
akan mendapat bonus limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),” ujar Yuyun
Ismawati dari BaliFokus. “Proses pengolahan sampah dengan teknologi termal
menghasilkan residu pembakaran berupa abu terbang, abu serta kerak yang berkarakteristik
limbah B3. Jumlahnya cukup signifikan, bisa mencapai 25% dari jumlah sampah
yang dibakar. Implementasi Perpres 18/2016 di 7 kota dengan teknologi termal
diperkirakan akan menghasilkan limbah B3 baru sebanyak 1750 ton per hari.
Pencemaran udara, air dan tanah diperkirakan akan meningkat dan mengancam hak
masyarakat untuk hidup di lingkungan yang sehat. Balita dan anak-anak, terutama,
berisiko tumbuh dan hidup di lingkungan kota yang tercemar.”
Sementara
itu, Asrul Hoesein, salah satu pemohon individu warga Jakarta, mengajukan
keberatan karena kuatir dengan adanya Perpres 18/2016 kesehatan lingkungan akan
menurun dan upaya serta usahanya selama ini mengedukasi masyarakat untuk
mengelola sampah dengan pendekatan ramah lingkungan menjadi sia-sia.
Dari
Surakarta, Titik Eka Sasanti, dari Yayasan Gita Pertiwi menyatakan bahwa “Dalam
menghadapi kondisi darurat sampah, solusi dengan teknologi termal tidak
ekologis, tidak ekonomis dan tidak manusiawi,” ujar Titiek. “Edukasi perlu
dilakukan terhadap semua lapisan masyarakat dan semua sektor, termasuk
pemerintah dan pembuat kebijakan, agar kiat mengurangi timbulan sampah,
melakukan pemilahan, memaksimalkan daur ulang, meningkatkan retribusi sampah
dan mengembangkan teknologi zero waste yang sebenarnya sebagai pilihan cerdas
untuk mengatasi sampah.”
“Pemerintah perlu fokus untuk mempercepat
penerapan sistem pengelolaan sampah yang lebih sesuai dengan UU Pengelolaan
Sampah No. 18 tahun 2008 yang memperkenalkan “paradigma baru” pengelolaan
sampah secara komprehensif. UU Pengelolaan Sampah mengatur pengelolaan sampah
dari bagian hulu, sebelum suatu produk dibuat. Pertimbangan disain produk dan
potensi akhir menjadi sampah didorong dan meninggalkan pendekatan yang hanya
bertumpu pada pendekatan akhir, kata David Sutasurya, dari Yayasan Pengembangan
Biosains dan Bioteknologi (YPBB). “Pemerintah harus segera menyusun Kebijakan
dan Strategi Pengelolaan Sampah Nasional yang telah terlambat lebih dari 5
tahun”, tambah David.
Informasi lebih lanjut silakan menghubungi:
1. Margaretha
Quina (Quina), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), HP 081287991747,
email: margaretha.quina@icel.or.id
2. Dwi
Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Manajemen Bencana Eksekutif Nasional WALHI,
HP 08156104606, email: dsawung@gmail.com
For immediate release
Request for Judicial Review of the Presidential Decree No. 18/2016
regarding the Acceleration of Waste to Energy development in 7 Cities filed to
the Supreme Court
Jakarta, July 18, 2016 - A number of civil society organizations and
individuals concerned about waste management and environmental health, members
of the National Coalition Against Mass Burning, this morning submitting a
request for judicial review of the Presidential Decree No. 18 Year 2016
regarding the Acceleration of the development of Electricity from Waste
Facilities in Jakarta, Tangerang City, Bandung City, Semarang, Surakarta,
Surabaya and Makassar City (hereinafter referred to as "the Presidential
Decree No. 18/2016").
Petition for judicial review was submitted to
the Supreme Court (Mahkamah Agung) by 15 individual petitioners who come from
cities that were targeted by the Presidential Decree 18/2016 and 6 non-governmental organizations, namely the
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia ( WALHI), BaliFokus, KRuHA (People’s Coalition for the Rights of
Water), Gita Pertiwi Foundation dan YPBB.
There are five reasons why the request for a
judicial review filed (1) The
"Acceleration" in the Presidential Decree 18/2016 is in
contrary to the legal framework for the prevention of the Act No. 32 of 2009 on
the Protection and Environmental Management; (2) The thermal technology
recommended by the Presidential Decree 18/2016 is contradicting with the waste
management system and the purpose of Law No. 18 of 2008 regarding Solid Waste
Management; (3) The release of the Presidential Decree 18/2016 pose a serious
threat that can not be restored to the environment and human health that
contrary to the Health Law, the Law on Ratification of Stockholm Convention on
Persistent Organic and Protection Act and Environmental Management; (4) The
relevant section of "Acceleration" within the Presidential Decree
18/2016 is an abuse of authority of the President and the Regional Head that
potentially devastating the financial status of the state and the respective
city authorities; and (5) the promulgation of Presidential Decree 18/2016
conducted without considering the principle of the establishment of legislation
that is sound and just, especially the "workable" and "usability
and effectivity" are in contrary to Article 5 d and e of Law Establishment
of Legislation.
Nur Hidayati, WALHI National Executive Director,
states that "The submission of this request for Judicial Review filed by
the coalition of civil society aims to remind the President, as the mandate
holder of the constitution, that the policy issued should prioritize people's
safety aspects and the precautionary principle, not vice versa. The
Presidential Decree No. 18/2016 ignore the safety aspect of the people and
created a very high risk program."
"In a broader scale, the judicial review is
our signal to the President that the civil society oversee the acceleration of
all infrastructure projects," said Margaretha Quina, Head of the Pollution
Control Division of ICEL. "The acceleration shall not exclude the impact
of the project to public health and the environment. The government must ensure
the acceleration of projects do not conflict with other regulations that have
been issued in advance. "
Retna Dwi Astuti, one of the individual
applicants who reside in Gedebage, Bandung, objecting to the issuance of
Presidential Decree 18/2016 because it would threaten their health and worsen
the environmental quality of the neighborhood. Retna Astuti, a mother of two,
lives 300 meters from the proposed location of Bandung’s waste incineration
plant. Since 2006, knowing that the development of the waste to energy plant
has been designated near her home in 2006, the applicant is increasingly
critical, especially related to potential pollution of air and water pollution
that could potentially have an impact on her health and her family.
In addition to the environmental permits leeway,
the Presidential Decree 18/2016 also risk promoting technologies that is not
necessarily appropriate for Indonesia’s trash. "Thermal technology that
was recommended by the Presidential Decree has not been verified and validated
for Indonesia’s context. Instead of getting electricity as the expected output,
the seven cities will likely to get a toxic bonus - a very hazardous and toxic
waste (B3)," said Yuyun Ismawati of BaliFokus. "Waste processing
using thermal treatment technology produces combustion residues such as fly
ash, ash and slag that has the toxics characteristics. The amount is
significant enough, up to 25% of the amount of waste burned. The implementation
of the Presidential Decree 18/2016 in 7 cities with thermal technology is
expected to generate new B3 waste as much as 1750 tonnes per day. Pollution of
air, water and soil will escalate and threaten the right of people to live in a
healthy environment. Toddlers and children, especially, will have an increased
risk to growing and living in a polluted urban environment," added Yuyun.
Meanwhile, Asrul Hoesein, an individual
applicant, Jakarta resident, filed an objection with concern about the
declining environmental health. His efforts to educate the public to manage
waste with an environmentally friendly approach to be in vain.
From Surakarta, Titik Eka Sasanti of the Gita
Pertiwi Foundation states that, "In the period of waste crisis, thermal
technology solutions is not ecological, uneconomical and inhuman," said
Titik. "Education needs to be done at all levels of society and all
sectors, including the government and policy makers, in order to reduce the
issue of solid waste, separation, maximizing recycling, improving waste
retribution and developing technology that are genuine zero waste as a smarter
choice to address the waste crisis."
"Government needs to focus on accelerating
the implementation of the waste management system more in line with the Waste
Management Act No. 18 of 2008 which introduced a "new paradigm" of
waste management in a comprehensive manner. Waste Management Act governing the
management of garbage from upstream, before a product is made. Design
considerations and the potential end product of garbage and approaches that
relies not only on the final approach,” said David Sutasurya, of the Foundation
for the Development of Bioscience and Biotechnology (YPBB). "The
government should immediately prepare for the Policy and the National Solid
Waste Management Strategy that was long overdue, more than five years,"
added David.
For further details, contact:
1.
Margaretha Quina (Quina), ICEL (Indonesian
Center for Environmental Law), HP 081287991747, email: margaretha.quina@icel.or.id
2.
Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Manajemen
Bencana Eksekutif Nasional WALHI, HP 08156104606, email: dsawung@gmail.com
Pemerintah pusat dan daerah HARUS MERUBAH PARADIGMA dalam #KelolaSampah Hentikan cara2 konvensional, segera kembali aplikasi regulasi sampah dengan benar.
ReplyDelete------>
Perpres 18/2016 kontra UU.18/2008 Ttg. Pengelolaan Sampah, dimana Pasal 13 UU tsb mengamanatkan kelola sampah desentralisasi - pola TPST/3R kawasan timbulan (paradigma baru kelola sampah), sementara perpres 18/2016 tsb jelas kembali ke paradigma lama kelola sampah secara sentralisasi (pengelolaan di TPA/PLTSa yg membutuhkan 1000 ton/hari).
------>
Selamat dan Sukses buat teman2 seperjuangan dalam menyelamatkan lingkungan/sampah.
#TolakBakarSampah
#StopGlobalWarming
Nice Post.... !!!!
[08119772131]