JAKARTA, 31 Mei 2018 - Peraturan Presiden baru mengenai penerapan
teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota tidak
realistis, mahal dan berpotensi gagal. Rencana ini, baik dari segi pembiayaan
maupun teknis, berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai upaya
melestarikan sumber daya material secara berkelanjutan. Dampak terhadap
kesehatan dan keberlanjutan operasional jangka panjang akan menjadi beban
Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Dua tahun yang lalu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 18/2016 tentang Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota
Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota
Makassar, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas permohonan
sekelompok LSM dan individu.[1]
Ironisnya, dalam waktu kurun waktu 2 tahun, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) No. 35/2018 tentang Percepatan
Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi
Ramah Lingkungan. Sekilas, tidak ada perbedaan signifikan dari judul kedua
Perpres kecuali penggunaan kata “ramah lingkungan”.
“Sayangnya, Perpres baru No. 35/2018 hanya berubah wajah dan, yang
lebih fatal, diberi judul berbasis teknologi ramah lingkungan dengan
kriteria yang tidak jelas,” kata Yuyun Ismawati, Senior
Advisor BaliFokus dan AZWI. “Biaya
investasi dan operasional yang tinggi, berpotensi menciptakan dampak buruk
terhadap kesehatan dan lingkungan. Hal ini diperparah dengan studi kelayakan
yang dipaksakan dan tidak ada kejelasan studi AMDAL sebelum proyek dimulai,
lemahnya pemantauan dan penegakan hukum karena kurangnya kapasitas dan
infrastruktur lab yang memadai.”
“Walaupun teknologi yang didorong
Peraturan Presiden ini, dibuat lebih umum menjadi teknologi ramah lingkungan,
kenyataannya teknologi yang dipromosikan tetap teknologi termal yang tidak
berkelanjutan. Kelayakan proyek PLTSa yang dibangun masih dipertanyakan karena
sampai saat ini belum ada satupun PLTSa termal yang berhasil didorong oleh
pemerintah untuk menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan
PLN,” kata Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi dari WALHI.
Selain permohonan uji materil, beberapa LSM yang sama dan juga
tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) telah beberapa kali
mengingatkan bahwa pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti
insinerator, gasifikasi dan pirolisis untuk sampah Indonesia tidak selaras
dengan asas pembangunan berkelanjutan dan arah kebijakan pengelolaan sampah
yang sudah digariskan pada UU 18 2008.[2],[3],[4]
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) meminta pemerintah untuk tetap
fokus melaksanakan mandat-mandat utama dari UU No. 18/2008 dan Peraturan
Pemerintah No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis
Sampah Rumah Tangga. Pemerintah juga tetap harus menerapkan prinsip -prinsip
pembangunan berkelanjutan dan melakukan upaya-upaya pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan yang tertuang dalam Perpres No. 59/2017.
“Dengan diundangkannya Perpres baru tentang PLTSa ini nampaknya
pemerintah masih gagal keluar dari paradigma pengelolaan sampah lama: bertumpu
pada pemrosesan akhir dan sistem ekonomi material yang linier,” kata David
Sutasurya dari YPBB. “Perpres baru ini seolah merupakan upaya instan dari
Pemerintah untuk mencapai target penanganan sampah tahun 2025 sebesar 70%
yang diamanatkan dalam Peraturan
Presiden No. 97/2017, tanpa mempertimbangkan arah kebijakan yang lebih
mendasar”.
Pemerintah cenderung abai terhadap risiko kesehatan dan finansial,
yang dapat dihadapi masyarakat dan Pemerintah Daerah, dengan mengasumsikan bahwa operasi
insinerator akan berjalan mulus tanpa gagal operasi. Hal ini terlihat dari
amanat dalam Perpres No. 35/2018 yang merefleksikan tidak adanya penjaminan
keselamatan, dan kesehatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan pada
persyaratan minimum dari dokumen pra-studi kelayakan.
Dapat terlihat dari dua
PLTSa termal yang sedang dalam tahap pembangunan di Kota Bekasi dan Surakarta
yang berjalan tanpa adanya perencanaan yang matang. Juga satu PLTSa di Jakarta
masih belum jelas status pembangunannya.
Oleh karena itu, AZWI mengajak
semua pihak untuk awas terhadap kecenderungan terjadinya pemaksaan proyek insinerator
yang sedang berjalan, diantaranya:
- Proyek-proyek PLTSa tetap dipaksakan berjalan
dan PLN seolah ‘dipaksa’ untuk membeli listrik dari PLTSa dengan harga
mahal walaupun Pulau Jawa dan Bali saat ini berada dalam kondisi kelebihan
suplai energi listrik.
- Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral sudah mengingatkan bahwa listrik dari PLTSa tidak ekonomis.
Kalaupun PLTSa tetap dijalankan, perannya lebih sebagai unit pemrosesan
akhir dengan teknologi insinerator (pembakar) sampah. Dengan demikian konsep
pembangkitan listrik dalam Peraturan Presiden ini tampak sebagai konsep
yang dipaksakan.
- Pemerintah Daerah diminta untuk membayar tipping fee pengelolaan sampah yang
sangat mahal. Dengan kebutuhan kontrak yang bersifat jangka panjang, biaya
tipping fee yang mahal dapat
menjadi jebakan fiskal jangka panjang bagi Pemerintah Daerah. Faktanya,
pemenuhan pembiayaan kegiatan pengangkutan sampah pun masih sulit untuk
dipenuhi Pemerintah Daerah. Seharusnya, Pemerintah Daerah memprioritaskan
pembiayaan untuk mencukupi biaya kegiatan penanganan seperti pemilahan,
pengumpulan dan pengolahan sampah (juga pembiayaan untuk aspek pengurangan
sampah). Dengan demikian, secara praktis proyek PLTSa tidak menguntungkan
Pemerintah Daerah dan menguras anggaran yang seharusnya disediakan untuk
kebutuhan penanganan dan pengurangan sampah yang lebih mendasar. Kondisi
pembiayaan ini berlaku sama baik pada kota kecil maupun kota besar yang
menjadi sasaran dari Peraturan Presiden ini.
- Sementara
berbagai turunan regulasi UU No. 18/2008 begitu lambat dikeluarkan oleh
Pemerintah (salah satunya: peraturan pelaksana tentang pengelolaan sampah
spesifik). Namun, dengan begitu cepatnya, Pemerintah menerbitkan regulasi
terkait proyek percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi
energi listrik. Mirisnya, ekstraksi energi dari sampah seharusnya
merupakan upaya terakhir dalam hierarki pengelolaan sampah di mana
pembatasan timbulan, guna ulang dan daur ulang sampah harus lebih
diprioritaskan.
- Ironisnya, walaupun judul Perpres No. 35/2018
ini ‘menekankan’ PLTSa yang ramah lingkungan, masyarakat justru dirugikan
dengan tidak adanya penjaminan keselamatan,
dan kesehatan serta keberlanjutan lingkungan dalam amanat Perpres ini.
Fokus dari Perpres No. 35/2018 semata-mata hanya berkisar pada penghasilan
energi dan keuntungan ekonomi.
- Studi independen di berbagai negara maju
sekalipun menunjukan bahwa pada umumnya teknologi termal apapun tetap
menghasilkan dioksin dalam jumlah cukup siginfikan. Pembakaran yang tidak sempurna pada
sampah akan menghasilkan senyawa kimia berbahaya yang bersifat
karsinogenik, yaitu dioksin. Dioksin bersifat persisten dan terakumulasi
secara biologi, dan tersebar di lingkungan dalam konsentrasi yang rendah.
Hal ini bisa meningkatkan risiko terkena kanker dan efek lainnya terhadap
binatang dan manusia. Sedangkan,
dalam Lampiran Peraturan Menteri LHK No. 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu
Emisi Usaha dan/atau Kegiatan
Pengelolaan Sampah Secara Termal, pemeriksaan dioksin hanya diwajibkan
dilakukan lima tahun sekali karena tidak ada fasilitas laboratorium yang
memadai di Indonesia.
- Lampiran III Peraturan Menteri LHK No. 19
Tahun 2017 tentang Baku Mutu Usaha dan/atau Industri Semen, hanya
mewajibkan pemeriksaan dioksin dilakukan empat tahun sekali pada industri
semen yang menggunakan teknologi RDF dari bahan sampah rumah tangga atau
yang sejenis. Standar lingkungan yang ditetapkan di
Indonesia jauh
lebih rendah[1] dan longgar dari standar yang berlaku
secara internasional. Dengan demikian kita patut bertanya, apakah aturan
baku mutu emisi tersebut dibuat untuk melindungi masyarakat atau sekedar
melegalkan proyek ini.
- Sekitar 70%
hasil pembakaran sampah akan berupa fly ash dan bottom ash (FABA) yang
bersifat B3 karena mengandung dioxins dan furans (kimia UPOPs). Abu yang
dihasilkan ini harus dikelola di TPA B3. Setiap kota yang akan membangun
PLTSa wajib membangun TPA B3 juga yang harus dikelola secara profesional
dan berbiaya tinggi.
- Penggunaan
batubara kualitas rendah (low grade
coal) untuk membakar sampah
kota-kota Indonesia yang bernilai kalor rendah, berpotensi
meningkatkan emisi merkuri ke udara. PLTSa yang akan dibangun berpotensi
menjadi PLTU batubara dengan sampah didalamnya.
AZWI menyayangkan bahwa dalam
proses implementasinya, Perpres ini ‘mampu’ berkompromi dengan
teknologi-teknologi tidak ramah lingkungan dalam hal ini berbagai jenis
teknologi termal. Kenyataannya, teknologi yang sedang dikaji oleh pemerintah
saat ini di kota-kota yang menjadi sasaran, adalah teknologi termal.
Pemaksaan proyek-proyek
insinerator ini dapat mendorong terjadinya masalah jangka panjang bagi
Pemerintah Daerah dan masyarakat. Kontrak proyek insinerator bersifat jangka
panjang, di mana Pemerintah Daerah akan terikat selama 20 tahun atau lebih. Konsekuensinya, persoalan pembiayaan
dan lingkungan yang dihasilkan dari insinerator akan menjadi masalah baru yang
berlarut-larut bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Kontak media:
Dwi Sawung +639994120029
David Sutasurya
+6281320176832
Yuyun Ismawati +447583768707
(Whatsapp)
[1] Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 27
P/HUM/2016 Tahun 2016 Aisya Aldila, dkk vs Presiden RI; https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/c3e1b13d96e72827fee2b3753dcf5e45
[2] Siaran Pers
AZWI 3 Juni 2016: “Masyarakat Sipil Indonesia Ajukan Uji Materiil Perpres
Percepatan PLTSa” https://docs.wixstatic.com/ugd/bdc2b3_18d0aa3d8d97420cb70cbe115414ca39.pdf
[3] Siaran Pers
AZWI 27 januari 2017: “Koalisi Tegaskan Pengelolaan Sampah Nasional Harus
Holistik” https://docs.wixstatic.com/ugd/bdc2b3_88c323281cf540b79827a233002b659f.pdf
[4] Siaran Pers
AZWI 9 Agustus 2017: “Tanggapan masyarakat sipil terhadap Proyek Uji-coba Jalan
Aspal-Plastik” https://docs.wixstatic.com/ugd/bdc2b3_bdfc2f26fbc6495082365fff9d433c7e.pdf
No comments:
Post a Comment