"Alam dan Manusia" - laporan Rebo Belajar bersama YPBB

Oleh: Kandi Sekarwulan, anggota Komunitas Sahabat Kota
Hari itu, Rabu 20 januari, hujan deras ditambah angin kencang yang menyeramkan; dengar-dengar cuaca ekstrem ini pertanda rusaknya iklim mikro kota Bandung akibat polusi dan kurangnya pohon. Biar begitu, sembilan Sahabat Kota (Dimas, Radix, Agung, Aldi, Unang, Kandie, juga Mita,Dodi dan Yandi yang datang menyusul) tetap datang ke Dipati Ukur 65pav untuk mengikuti Rebo Belajar.

Rebo Belajar kali ini mengundang teman-teman dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi untuk berbagi tentang hubungan manusia dengan alam. Organisasi yang kerap dipanggil YPBB ini aktif membantu orang-orang untuk hidup selaras dengan alam. Kang Afif, salah seorang wakil dari YPBB, membuka acara dengan sekilas cerita tentang organisasi YPBB dan program-programnya. Setelah itu giliran Anil (YPBB) yang bercerita.
Pertama-tama para Sahabat Kota diminta membayangkan, bagaimana kalau ruangan tempat kami duduk ditutup rapat sehingga udara sama sekali tak bisa keluar-masuk. Lalu, bagaimana kalau daerah seluas 1 km dari Dipati Ukur 65 pav ditutup rapat. Wah, ternyata repot juga! Di kota seperti Bandung, tak mungkin bertahan hidup lama jika hubungan dengan daerah lain diputus. Itu karena - kami baru sadar - seluruh sumber kehidupan kota Bandung berasal dari daerah di sekitarnya. Makanan, air bersih, bahkan oksigen pun kita ambil dari hutan-hutan di luar kota Bandung (mengingat dibutuhkan 1 pohon untuk setiap dua penduduk, sementara di Bandung pohonnya sangat sedikit dibanding jumlah orang, ditebangi terus pula).

Setelah itu Anil mengajak kita merenungkan, apa sebenarnya yang menentukan kelangsungan hidup manusia. Anil bilang, sepanjang pengalamannya menanyakan ini ke orang kota, kebanyakan menjawab "kelangsungan hidup ditentukan oleh UANG". Hah, uang? Mungkin ada benarnya karena kebanyakan orang kota mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan uang, bukan dengan bertani atau membuat sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir, yang paling mendasar sebenarnya adalah alam. Makanan, air dan udara, bahan pakaian, dan semua kebutuhan kita berasal dari alam. Kalau pohon terakhir sudah ditebang, ikan terakhir sudah dipancing, dan hewan terakhir sudah dibunuh, kita akan sadar kalau uang tidak bisa dimakan.

Seberapa sadarkah orang kota akan pentingnya alam? Menurut cerita Anil lagi, ternyata rata-rata sangat rendah kesadarannya. Kalau ditanya "apa peran alam", banyak yang menjawab sekadar "untuk rekreasi/refreshing", padahal alam jauh lebih penting dari itu, alam adalah satu-satunya penyokong kehidupan. Kalau kualitas alam memburuk, kualitas hidup manusia juga ikut memburuk. Kita jelas bisa melihat ini dengan banyaknya orang kota yang menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), karena udara kota sudah kotor terkena polusi.

Kalau alam demikian penting, lalu kenapa orang kota tidak menghargai alam?

Pertama, kata Anil, karena alam memberikan segala sesuatu secara cuma-cuma alias gratis. Kasusnya mirip dengan "uang rokok". Waktu pertama kali seseorang diberi uang rokok, ia mungkin akan surprised dan senang sekali. Kedua kali, ketiga kali, ia akan senang tapi makin terbiasa. Setelah beberapa puluh kali, orang itu akan begitu terbiasa sehingga kalau tidak diberi ia malah marah. Sama seperti alam, kita sering lupa menghargai alam karena kita mendapatkan manfaatnya setiap saat tanpa perlu membayar apapun.

Penyebab kedua, sesuatu yang di YPBB disebut "kabut peradaban". Jaman dahulu orang mengambil semua kebutuhannya langsung dari alam, sehingga mereka sangat menghargai dan menjaga alam. Waktu peradaban berkembang, orang mulai bercocok tanam dan beternak, tidak mengambil langsung dari alam. Selanjutnya, muncul budaya berdagang sehingga kebutuhan manusia didapat dari pasar dan toko. Lalu peradaban modern berkembang, muncullah industri dan perdagangan bebas. Orang mendapatkan barang kebutuhan dari supermarket, mall, dan lain sebagainya, banyak di antaranya sudah diproses berkali-kali dan didatangkan dari tempat yang sangat jauh sehingga kita tidak tahu persis asal mula barang-barang tersebut. Karena sudah berjarak terlalu jauh dari alam, maka kita pun lupa betapa pentingnya alam. Manusiawi, sih.

Kabut peradaban ini tidak hanya berlaku pada asal-usul barang, tapi juga pada "ke mana perginya barang", contohnya sampah. Ke mana sampah kita pergi? Tidak banyak orang yang benar-benar mengikuti proses perjalanan sampah secara utuh, apalagi melihat TPA alias Tempat Pembuangan Akhir dan betapa rusaknya lingkungan di sana (saya juga belum pernah). Kalau ditanya kenapa orang begitu cuek pada masalah sampah, jawabannya sudah jelas. Kabut peradaban membuat kita tidak pernah benar-benar merasakan/mengalami akibat langsung dari perbuatan kita, termasuk menyampah sembarangan. Kepedulian kita akhirnya hanya terbatas pada hal-hal yang terlihat langsung, dan itu hanya bagian sangat kecil dari seluruh proses.

Setelah terbengong-bengong karena kabut peradaban, kami pun kembali ke dunia sehari-hari. Kata Anil, dalam setiap kegiatan manusia pasti ada sesuatu yang ia konsumsi dan ada sesuatu yang dihasilkan. Kami pun diajak merunutkan proses makan sebagai contohnya. Makanan yang kita beli di warung, bahannya dibeli di pasar. Pedagang mendapatkan bahan makanan dari petani di desa, petani menanam tanaman pangan di tanah. Nah, setelah makanan diolah dalam tubuh, sisanya dikeluarkan dalam bentuk feses, dan akhirnya diuraikan oleh bakteri dalam septic tank. dari merunutkan proses makan ini, kami disadarkan akan suatu fakta penting: sepanjang apapun perjalanan suatu barang dan setebal apapun kabut peradaban, tetap saja "segala sesuatu berasal dari alam dan akan berakhir di alam".

Tak terasa waktu semakin sore, langit di luar pun mulai gelap. Untuk menutup acara, Anil mengajak para Sahabat Kota membuat janji untuk diri sendiri agar hidup lebih selaras dengan alam. Berbagai janji dikatakan, dari "lebih sering bersepeda", "mengurangi sampah plastik", "berhenti memakai styrofoam", sampai "menyebarkan cerita tentang hidup selaras alam". Yang terakhir ini adalah janji teman saya, tapi rasanya bagus juga kalau saya ikut-ikutan. Dan tulisan inilah satu ceritanya, dibuat untuk mengingatkan bahwa ada yang memelihara dan menghidupi kita semua. Namanya Alam.

21 Januari 2010
ditulis di kota, oleh Kandie

No comments:

Post a Comment